Kontras Suara Cadas dan Paras Jelita Vokalis Dead Sara

Sampul album Dead Sara

Dead Sara diyakini menganut paham "don't judge a book by its cover" (jangan menilai sebuah buku dari sampulnya). Band hardrock-post-hardcore yang diawaki dua perempuan dan dua lelaki ini seolah ingin menegaskan: "jangan menilai musik kami dari gambar sampul albumnya".

Sampul album perdananya yang bertajuk sama dengan nama mereka tak sedikit pun menampilkan nuansa musik keras. Ia bahkan terlihat seperti sampul album seorang penyanyi solo pop. Dominan warna hitam yang berkesan gelap, memang. Namun gambar wajah perempuan ditambah ornamen yang sekilas tampak menyerupai bunga-bunga atau dedaunan, menyiratkan ia adalah album musik pop nan feminin.

Coba dengarkan tembang pertamanya yang berjudul Whispers & Ashes. Trek bertempo lambat tapi mulai terdengar berat, yang pelan-pelan memudarkan kesan feminin. Itu semacam lagu pemanasan menuju sejatinya musik Dead Sara. Lanjutkan ke trek berikutnya: Weatherman. Alunan intro yang dibuka distorsi gitar di 25 detik pertama seketika membuyarkan seluruh kesan kemayu atas album tersebut. Kesimpulannya jelas: bukan album K-pop.

Riff tebal nan berat bernuansa rada rock n roll di intro itu dihasilkan dari jemari lentik sang gitaris utama, Siouxsie Medley. Ia adalah punggawa grup band asal Los Angeles, Amerika Serikat, itu. Mata birunya sayu, seperti selalu bangun dari tidur. Hidungnya bangir. Bibirnya sedikit lebar, dan ketika terbuka akan terlihat barisan gigi yang rapi. Unyu-lah, pokoknya.

Suara sang vokalis, Emily Armstrong, sebenarnya sudah terdengar pada bagian intro di lagu ketiga itu meski masih samar karena teredam sound distorsi gitar Siouxsie. Baru pada detik ke-35 Emily muncul dengan teriakan lembut. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ia menghentak pada sepuluh detik setelahnya. Karakater tenor suaranya terdengar sangat bertenaga, parau dan berkesan cadas.

Emily tak kalah unyu dibanding Siouxsie. Dalam klip video Weatherman, Emily menggunakan riasan minimalis dengan corak gelap pada lingkar kelopak matanya, yang mengesankan seperti artis gothic. Tapi usaha untuk membuat tampangnya agar terlihat sangar itu gagal. Parasnya yang jelita tak dapat disembunyikan meski dengan riasan ala metal yang maksimalis layaknya Marilyn Manson.

Rupa Emily dengan bentuk muka lancip dan hidung runcing itu makin kontras dengan watak garang suaranya yang terdengar amat brutal di Monumental Holiday. Pada lagu berirama rancak itu, Emily seperti menemukan ruang yang paling nyaman untuk mengekspresikan seluruh gairah rock-nya. Teriakannya terdengar seolah sedang murka dan tak terkendali, terutama pada bagian setelah chorus. Ia seakan ingin memperingatkan: "Minggir! Nyenggol, bacok!"

Begitu juga Siouxsie yang terdengar lebih leluasa mengeksplorasi riff-riff berat dan bertenaga pada lagu berdurasi 2,41 menit itu. Hasilnya nyaris berwujud rock n roll yang dimodernkan (sebagian menyebut cenderung grunge). Sean Friday, sang penggebuk drum, dan Chris Nul, si pembetot bass, pun seolah tak ingin kalah semangat dari Emily maupun Siouxsie.

Lagu paling santai cuma Sorry for it All. Ukurannya sederhana saja: paling sedikit distorsi gitar, hampir tak ada teriakan-teriakan kasar, tempo drum dan bass yang pelan dan monoton. Tapi lagu kesebelas yang berdurasi 4,48 menit itu tak dapat disebut lagu pop. Ia semacam rock ballad versi mereka dengan gaya bernyanyi Emily yang terdengar emosional.

Lemon Scent ialah lagu andalan berikutnya. Warna rock n roll dominan di nomor bertempo sedang tapi berat ini. Distorsi tebal dari gitar Siouxsie yang hampir selalu diiringi pukulan snare drum milik Sean. Corak vokal Emily lebih variatif: pada bagian tertentu berteriak dengan intonasi lantang, lalu seketika turun melembut, dan sesekali seperti mengeram. Lagu ini barangkali lebih mendekati gaya Janis Joplin.

Siouxsie Medley

Mengalahkan Marilyn Manson

Pengakuan atas musikalitas Dead Sara tidak hanya karena ia telah menerima penghargaan sebagai Best New Rock Group pada 3rd annual Vegas Rocks! Magazine Awards 2012. Dave Ghrol pun memuji kapasitas Siouxsie, Emily, Sean, dan Chris. "Dead Sara harus menjadi grup band rock terbesar di dunia," kata mantan drummer Nirvana dan kini vokalis sekaligus gitaris Foo Fighters itu.

Dari sekian pujian terhadap Dead Sara, kebanyakan memang menyoroti penampilan Emily. Ada yang menyebut karakter suara perempuan yang dahulu memainkan musik folks itu mirip Janis Joplin. Jenis musik yang dimainkan keduanya memang berbeda: Janis nge-blues rock, sementara Emily rock n roll-hard rock. Tapi karakter keduanya bertemu pada irisan rock. Keduanya juga lady rocker yang berkarakter suara jantan meski Janis tak secantik Emily.

Emily bahkan disejajarkan dengan enam perempuan vokalis band hard rock/metal yang lebih senior pada Rock Goddess of the Year of 2012 Music Awards Loudwire. Ia menyodok masuk ke jajaran nominator bersama Cristina Scabbia (vokalis Lacuna Coil), Amy Lee (vokalis Evanescence), Angela Gossow (vokalis Arch Enemy), Maria Brink (vokalis In This Moment), Lzzy Hale (vokalis Halestorm), dan Jill Janus (vokalis Huntress).

Lagu Weatherman juga melambungkan nama Emily. Loudwire menempatkan lagu itu di urutan nomor 1. Sedangkan di posisi ke-2 sampai 10 ditempati lagu-lagu dari band rock/metal dengan vokalis laki-laki (kecuali Halestorm), yang di antaranya ada Marilyn Manson, Jacoby Shaddix (vokalis Papa Roach) dan Serj Tankian (vokalis System of a Down).

"Lagu ini memiliki bait yang mengesankan: 'Go for the kill,' dan itulah yang Dead Sara lakukan dengan 'Weatherman,' yang menjadikannya nomor 1 lagu di daftar kami sebagai lagu-lagu rock terbaik tahun 2012," tulis Loudwire.

Aksi panggung Emily pun bertolak belakang dengan paras ayunya. Dalam beberapa pertunjukan langsung saat membawakan lagu Weatherman, Emily naik ke atas kotak amplifier setinggi lebih satu meter, lalu melompat ke bawah berbarengan dengan riff menghentak lagu tersebut. Siouxsie tak mau kalah. Ia jingkrak-jingkrak mengikuti irama sembari tetap berusaha berkonsentrasi pada gitarnya.

Emily Armstrong

Eksistensinya Masih Diuji

Penampilan Dead Sara sebagai pendatang baru memang memukau. Tapi ia bukan tanpa cela. Debut pertamanya bukan album self titled itu, melainkan The Airport Sessions meski terkategori extended play (EP) atau bisa disebut album mini, yang sifatnya uji coba. Album berisi enam lagu itu kurang sukses dan tampak masih mencari bentuk; belum segahar pada album berikutnya, corak rock-nya belum sepenuhnya keluar.

Komanter Dave Ghrol lebih bermakna tantangan daripada pujian kepada Dead Sara. Satu album EP dan sebuah album reguler (perdana) belum cukup untuk membuat kesimpulan bahwa Dead Sara memang patut diperhitungkan di jagat musik rock/metal dunia. Eksistensinya masih perlu diuji sedikitnya dua-tiga album lagi sekaligus dengan inovasi-inovasi baru mereka.

Ujian lain ialah jam manggung mereka. Sebab dalam sejumlah konser, penampilan Emily tidak terlalu baik. Suaranya kedodoran sebagai akibat terlampau banyak melalukan gerakan yang sesungguhnya tak perlu dan justru menguras energi. Ia tampak lebih suka mengekspresikan emosi rock n roll-nya ketimbang bernyanyi dengan baik dan benar. Tak seperti yang dilakukan Siouxsie, Sean dan Chris, yang lebih berusaha untuk fokus pada alat yang mereka mainkan.

Pada satu kesempatan, mereka membawakan lagu Rage Against The Machine yang berjudul Killing in the Name. Tindakan itu sebetulnya cukup berisiko, karena lagu Killing in the Name adalah lagu yang kental unsur metal/core dan rap (rap-core) dan bertempo cukup tinggi. Sedangkan Dead Sara cenderung hard rock. Hasilnya, Emily terdengar hanya berteriak ketimbang bernyanyi/nge-rap seperti Zack de la Rocha (vokalis Rage Against The Machine).


Ancang-ancang Muse ke Luar Angkasa

Ilustrasi Muse ke luar angkasa yang diolah dari gambar pada video klip Sing for Absolution. (Sumber: Deviantart.net)


Steve Jobs, pada suatu rapat, mengajak para karyawannya mengobrolkan Mini Coopers. “Keren, karena mereka kecil,” kata Jobs. Sang pendiri sekaligus mantan Chief Executive Officer Apple itu galau karena hampir semua produsen komputer hanya sibuk berkutat pada teknologi prosesor berkecepatan tinggi. Ia kemudian berujar, "Apple harus benar-benar dibuat dari bahan yang bagus", karena kebanyakan komputer pada saat itu berbahan plastik.

Jobs bereksperimen dengan aluminium yang dipadukan dengan imajinasi desain minimalis. Wujudnya adalah mahakarya cantik nan memesona: Macbook Air. Ada cita rasa seni padanya. Karenanya, orang lebih suka menyebut ciptaan Jobs sebagai karya, bukan produk. Tidak hanya pada Macbook Air, tapi juga iMac, iPod, iPhone, iPad, dan lain-lain. Reaksi orang lebih cenderung emosional saat melihat iPhone. “Cantik!" "Charm!" "Wow!”

Muse barangkali juga begitu. Matthew Bellamy, Christopher Wolstenholme dan Dominic Howard bereksperimen dengan aneka jenis musik dan berimajinasi tentang manusia dan alam semesta di album keenam mereka, yang bertajuk The 2nd Law.

Trio asal Devon, Inggris, itu bereksperimen berani dengan memasukkan unsur-unsur dubtsep, brass, orkestra, dan lain-lain. Meski berbahan dasar rock, lagu-lagu Muse di album yang dirilis 1 Oktober 2012 itu terdengar lebih dari sekadar rock: rock yang mewah nan elegan.

Mereka tak mengumbar banyak distorsi gitar yang meraung-raung dan keberisikan -sebagaimana musik rock pada umumnya- tetapi malah mengeksplorasi jenis-jenis musik lain. Aroma dubstep (genre yang dipopulerkan Skrillex) menyeruak pada lagu Madness, Follow Me dan The 2nd Law: Unsustainable. Mendengarkannya, terutama pada The 2nd Law: Unsustainable, berasa di dalam semesta robot. Irama brass section menguasai refrain Panic Station dan intro pada Supremacy. Nuansa orkestra seketika terdengar begitu jelas pada The 2nd Law: Unsustainable, The 2nd Law: Isolated System, dan terutama Survival.

The 2nd Law merupakan hasil evolusi termutakhir musik Muse, yang sejak pertama kemunculannya tampak tak pernah kuatir untuk bereksperimen dengan ragam jenis musik, instrumen dan sound yang belum pernah mereka jelajahi. Bellamy dan kawan-kawan seolah memainkan musik di dalam mesin waktu: kembali ke masa lalu dengan menyerap atmosfer musik Queen, Michael Jackson, Bee Gees, hingga U2, bahkan era Renaissans, lalu secepat kilat melompat ke masa kini untuk bermain-main dengan sound dubstep dan dance.

Tetapi, sesungguhnya bukan cuma itu yang membikin 13 lagu di album itu terdengar mewah. The 2nd Law merupakan refleksi diri kehidupan mereka dan kehidupan umat manusia. Simak dua lagu karya Christopher Wolstenholme, sang pembetot bass: Save Me dan Liquid State, yang berkisah tentang pertempurannya melawan ketergantungan terhadap alkohol. Madness, lagu andalan mereka, yang secara harfiah berarti kegilaan. Namun, menurut Dominic Howard, lagu itu bermakna “Perjuangan Positif”.

Lagu Survival, yang dipilih sebagai lagu tema Olimpiade 2012, tak hanya terdengar megah, tapi juga laksana unjuk ketangguhan dengan sedikit semangat perlawanan. Simak sebait liriknya yang ini: “I’ll keep up the pace And I will reveal my strength to the whole human race…”

Refleksi Bellamy dan kawan-kawan tentang ekonomi kapitalisme global termaktub di dalam Animals, yang memasukkan suasana keriuhan perdagangan saham di bursa efek sebagai suara latar pada bagian akhir lagu. Ada pula Big Freeze yang bertutur tentang ketakutan pada zaman es kembali menimpa Bumi, tempat manusia tinggal. Di dalam Explorers, Bellamy menyeru sebaiknya manusia meninggalkan Bumi dan mencari kehidupan di luar tata surya.

Sampul album The 2nd Law. (Sumber: Fanpop.com)


Serpihan-serpihan refleksi tersebut, dirajut oleh Bellamy lewat tajuk albumnya: The 2nd Law atau The Second Law. Ia merujuk pada second law of thermodynamics atau hukum kedua termodinamika, salah satu hukum terpenting dalam fisika dan berbagai cabang ilmu lainnya yang berhubungan dengan termodinamika.

Ia yang dapat disimak pada lirik The 2nd Law: Unsustainable. "All natural and technological processes proceed in such a way that the availability of the remaining energy decreases. In all energy exchanges, if no energy enters or leaves an isolated system, the entropy of that system increases. Energy continuously flows from being concentrated, to becoming dispersed, spread out, wasted, and useless. New energy cannot be created and high-grade energy is being destroyed. An economy based on endless growth is… Unsustainable!”

Muse bermaksud mengaitkan hukum kedua termodinamika dengan situasi dunia sekarang, yakni dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme dan konservasi energi. Kapitalisme menuntut pertumbuhan konstan di dalam semua aspek, sedangkan alam tidak selamanya mampu menopang keberlangsungannya. “An economy based on endless growth is unsustainable.” Sebuah sistem ekonomi yang berbasis ide pertumbuhan tanpa akhir itu tak bisa dipertahankan.

Sistem yang meningkat secara terus-menerus akan menyebabkan kekacauan atau ketidakteraturan. Sederhananya begini: energi yang terkandung di Bumi ini terbatas, dan jika Anda berusaha terus-menerus mengeksploitasinya demi uang; demi pertumbuhan ekonomi, yang ditargetkan terus meningkat sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka energi itu akan habis. Ekonomi bisa terus ditumbuhkan, tapi alam tidak. Batu bara akan habis. Minyak bumi, uranium, emas, besi akan habis.

Sebuah negara bisa saja menargetkan naiknya jumlah produksi batu bara, dari (misal) 330 juta ton per tahun menjadi 630 juta ton per tahun. Jumlah produksi naik. Namun, jumlah batu bara kebalikannya: makin berkurang. Cepat atau lambat, ia akan habis. Saat itu terjadi, seluruh sistem ekonomi yang mendasarkan pada pertumbuhan tanpa batas akan mengalami kolaps total.

Muse ingin mengingatkan situasi terakhir itu: keadaan umat manusia kehabisan energi dan ekonomi dunia lumpuh. Tapi mereka sekadar mengingatkan. Sebagaimana dicatat sebagian kritikus musik, album tersebut bukan album (sepenuhnya) sosial-ekonomi-politis. Titel The 2nd Law maupun tembang The 2nd Law: Unsustainable bukanlah ceramah seputar itu. Frasa The 2nd Law pun bahkan cuma bagian dari tembang The 2nd Law: Unsustainable, bukan semacam ringkasan dari keseluruhan album.

Perihal musikalitas album tersebut pun dicemooh karena pemakaian elemen dubstep (meski yang utuh cuma ada di nomor The 2nd Law: Unsustainable) dan oplosan genre-genre lain yang, barangkali bagi sebagian orang terdengar gado-gado dan maksa.

Sayangnya, begitulah fakta tentang Muse. Mereka lebih memilih abai pada cemoohan, karena sedari awal yang mereka lakukan adalah eksperimen. Muse adalah seperti dituturkan Bellamy dalam sebuah wawancara kala ditanya perbedaaan mendasar musik rock Inggris dengan musik rock Amerika: “Kalau musik Amerika cenderung straight rock, sementara di negara kami musik rock lebih banyak bersifat eksperimental." Gagal atau berhasil sebuah eksperimen adalah risiko. Dicela atau dipuja ialah konsekuensinya.

Tetapi, mungkin saja Bellamy, Christopher dan Dominic memang benar-benar peduli amat dengan reaksi orang terhadap The 2nd Law, dan justru lebih hirau pada sesuatu yang "unsustainable". Karenanya, manusia perlu segera memikirkan alternatif tempat tinggal selain di Bumi, sebagaimana mereka serukan di lagu Explorers.

Perkara yang terakhir itu bukan main-main. Bellamy cs jauh-jauh hari, lama sebelum menggarap album The 2nd Law, telah memasang ancang-ancang untuk ke luar angkasa. "Kami ingin jadi band pertama yang bermain di sana (luar angkasa)," ujar Bellamy, dikutip dari Splash News, Mei 2011.

Entah, dengan cara apa dan kapan mereka akan ke sana. Tapi sepertinya mereka sudah menetapkan planet tujuan: Mars. Di album mereka yang bertajuk Black Holes and Revelations (2006), ada lagu Knights of Cydonia. Lagu itu bercerita tentang ksatria dari Cydonia -sebuah daerah yang terletak di belahan utara planet Mars- yang bertarung di tata surya yang pada akhirnya menghancurkan salah satu planet.

Baca juga:

Musik Rock Amerika Bercita-rasa Bali 
Mengenal Tuhan Media 
Playback, Panggung Kepura-puraan
Ampun, Kangen Band!

Tak Perlu Otak Einstein untuk Gunakan Smartphone

Ilustrasi smartphone. (Sumber: Dreamstime.com)




Rabu petang, 3 Oktober 2012, barangkali menjadi petang tersibuk bagi pengguna smartphone (ponsel pintar) Blackberry di Indonesia. Gadget mereka diserang pesan-pesan bohong, yang masuk secara bertubi-tubi melalui fitur Blackberry Messenger, beberapa saat setelah layanan tersebut pulih dari error sejak siang.

Isi pesan yang mengatasnamakan RIM (produsen Blackberry) itu semua serupa, begini:

"Pesan ini untuk menginformasikan semua pengguna kami, bahwa server kami baru saja benar-benar penuh, jadi kami meminta bantuan Anda untuk memperbaiki masalah ini.

Kita perlu pengguna aktif kami untuk mengirim ulang pesan ini ke semua orang di daftar kontak Anda untuk mengkonfirmasi pengguna aktif kami yang menggunakan BlackBerry Messenger, jika Anda tidak mengirim pesan ini ke semua kontak BlackBerry Messenger Anda maka account Anda akan ditetapkan tidak aktif dengan konsekuensi dari kehilangan semua kontak Anda.

Simbol akan meng-update otomatis dalam BB Anda, ketika Anda menyiarkan pesan ini. Blackberry Anda akan diperbarui dalam waktu 24 jam itu akan memiliki baru lay out dan warna baru untuk chatting.

Dear Blackberry pengguna, Kita akan melakukan update untuk BBM dari 11:00 sampai 05:00 ini ke hari.

Anda jika Anda tidak mengirimkan ini ke semua kontak Anda memperbarui Anda akan dibatalkan dan Anda tidak akan diizinkan untuk chatting dengan kontak Anda sebagai Anda memiliki version.If pic lama tampilan Anda tidak akan berubah, itu karena 'Blackberry 'adalah memperbarui, silahkan kirim pesan ini ke semua kontak.


Bukan broadcast sembarangan Ini serius!! Bisa di cek"

Pesan tersebut tidak dikirim RIM pada para pengguna Blackberry melainkan oleh orang per orang melalui fasilitas broadcast message (mengirim pesan ke seluruh kontak Blackberry Messenger secara bersamaan). Dapat dibayangkan dengan mudah betapa peristiwa massal pada petang itu begitu masif. Jika seseorang memiliki 100 kontak Blackberry Messenger pada gadget-nya dan melakukan broadcast message ke semua, lalu masing-masing penerima melakukan hal yang sama, maka yang terjadi adalah semacam serangan wabah menular: satu terjangkit, menular ke yang lain, lalu menjangkiti yang lain, dan pada akhirnya menjadi epidemi.

Peristiwa sejenis bukan yang pertama. Sebelum-sebelumnya sudah pernah dan bahkan sering terjadi, dan tampaknya hanya pada pengguna Blackberry. Selain gratis (tidak dipungut biaya per pengiriman pesan), fitur Blackberry Messenger memang paling efektif untuk mengirimkan pesan ke banyak kontak dalam waktu bersamaan, yakni dengan fasilitas broadcast message itu.

Sayangnya, bagi sebagian orang, pesan-pesan semacam itu cukup mengganggu, dan bagi sebagian yang lain amat-sangat mengganggu. Situasinya tentu saja lebih dari sekadar mengganggu jika pesan-pesan berantai itu sudah diketahui tidak benar alias kabar bohong.

Memang, dibutuhkan waktu tidak lebih semenit untuk membaca atau sekadar memeriksa pesan tersebut, dan lalu segera memutuskan untuk diabaikan saja. Anggap saja setengah menit alias tiga puluh detik. Tapi, coba bayangkan jika ada 100 kontak yang mengirimkan pesan serupa, maka lima puluh menit sudah terbuang sia-sia hanya untuk itu. Bayangkan lagi jika ada 200 atau bahkan 500 kontak, dan seterusnya.

Sesungguhnya tak perlu menjadi pakar teknologi informasi atau telematika layaknya Roy Suryo, kalau hanya untuk memastikan kebenaran informasi dari pesan Blackberry Messenger seperti kasus massal pada Rabu petang itu. Langkah paling gampang dan sederhana serta hampir semua orang bisa melakukannya adalah memeriksa situs resmi sang produsen gadget. Kalau tak tahu alamatnya, cek di Google. Jika memang ada masalah, otoritas Blackberry pastilah merilis pengumuman resmi.

Langkah paling sederhana lagi ialah dengan mengecek perkembangan termutakhir di media-media online. Tidak lama setelah layanan Blackberry Messenger kembali normal, media-media online terkemuka di Tanah Air sudah menulis pernyataan resmi dari otoritas RIM di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa memang sedang terjadi gangguan pada server Blackberry untuk kawasan Asia Pasifik. Malahan, sebelum itu pun otoritas pemerintah Indonesia, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, sudah membuat pernyataan seputar peristiwa error pada layanan Blackberry Messenger, meski ketika itu belum diketahui sebabnya.

Keberadaan media sosial (social media) semacam Facebook dan Twitter juga tak kalah penting perannya dalam memperbarui informasi-informasi terkini. Pengguna Facebook, dan terutama pengguna Twitter, selalu update, sehingga tak ada alasan untuk mengatakan buta informasi. Lagi pula, rasa-rasanya, tak ada pemakai perangkat Blackberry yang tak memiliki akun Facebook dan/atau Twitter. Masalahnya memang digunakan/dimanfaatkan atau tidak. Itu saja.

Bagi yang tidak dapat mengakses internet, bisa juga dengan menyimak berita-berita di televisi (sekurang-kurangnya pada running text, yang memang difungsikan untuk informasi-informasi sekilas) atau melalui radio. Pembaruan (update) berita-berita di televisi maupun radio memang sedikit lebih lama dibanding media online. Tetapi meng-update informasi melalui televisi maupun radio tentu tindakan yang lebih pintar ketimbang menyebarkan berita bohong melalui broadcast message.

Singkat dan sederhananya adalah, banyak --bahkan terlalu banyak-- saluran informasi yang dapat diakses kalau sekadar untuk memastikan kebenaran sebuah pesan, seperti pesan berantai seputar layanan Blackberry Messenger itu. Hampir tidak ada alasan pembenar jika ada yang mengaku panik begitu menerima pesan-pesan seperti itu, dan lalu melakukan broadcast message. Alasan yang dapat ditoleransi ialah sedang dalam keadaan mabuk atau pingsan.

(Tak) harus pintar

Teknologi, apa pun bentuknya, pada prinsipnya diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia. Begitu pula dengan smartphone, apa pun nama, merek dan jenisnya, dirancang untuk membantu memudahkan atau menunjang aktivitas penggunanya. Ia memang didesain sedemikian rupa agar bisa dioperasikan semudah mungkin oleh siapa pun. Bocah lima tahun pun bisa mengoperasikannya. Karenanya, tak perlu otak secerdas dan sepintar otak Albert Einstein, fisikawan termasyhur abad ke-20.

Tetapi, untuk menjadi pengguna smartphone yang baik, memang dibutuhkan pengetahuan yang memadai, terutama untuk memanfaatkan atau memaksimalkan fitur-fitur di dalamnya bagi aktivitas sehari-hari. Sebab, tidak sedikit pengguna yang memiliki smartphone demi gaya, sehingga tak memanfaatkan fitur-fitur bergunanya, bahkan fitur-fitur standar semacam push mail (layanan email), browser, note, maps, GPS, dan lain-lain.

Lebih penting dari itu, pengetahuan yang memadai juga amat berguna untuk menjaga dan melindungi keamanan serta privasi pengguna. Sebab, hasil riset Juniper Networks, perusahaan keamanan, sebagian besar pengguna smartphone sering teledor dalam melindungi keamanan jaringan dan privasi mereka.

Menurut Juniper, sebanyak 72 persen para pengguna smartphone sering berperilaku tidak pintar dan justru mendatangkan bahaya, seperti terkoneksi ke jaringan Wi-Fi publik. Banyak responden yang mengaku bahwa mereka tidak tahu perbedaan jaringan Wi-Fi yang aman atau tidak aman. Padahal, Wi-Fi publik itu rawan spyware (perangkat lunak untuk pencurian data).

Riset Juniper dilakukan di Amerika, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang. Ditemukan fakta bahwa sebanyak 76 persen dari 4.037 responden yang dilibatkan, mengatakan telah mengakses data-data sensitif melalui ponsel pintarnya untuk online banking, informasi kesehatan pribadi, dan data pekerjaan, serta data-data serius lainnya. Mereka juga tidak merasa ada masalah atau tidak peduli pada keamanan data-data mereka.

Entah, sudah ada atau belum survei serupa di Indonesia. Tapi, tampaknya, perilaku pengguna smartphone di Indonesia dan di lima negara yang disurvei Juniper itu tak jauh beda, bahkan mungkin lebih parah. Kasus serangan massal di Rabu petang itu adalah contoh ketidakpedulian mereka pada benar atau salah atas pesan-pesan yang disebarkan. Apalagi pada tingkat keamanan jaringan dan privasi mereka.


Baca juga:

Google Merevolusi Cara Belajar
Modus Baru Operator Seluler Nyopet Pelanggan
Lemparkan Saja Batunya ke Hacker!
Koalisi Besar versus Monster Gratisan

Google Merevolusi Cara Belajar

Ilustrasi cara belajar ala Google. (Sumber: Educationnews.org)



Andai internet sudah ada sejak berabad-abad lampau, pasti tidak pernah ada sekolah. Andai Google sudah ada sejak jaman pithecanthropus erectus, manusia modern tak bakal pernah mengenal universitas atau perguruan tinggi. Sebabnya, Google sudah menyediakan hampir semua ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

Bagi sebagian orang, internet digunakan sekadar untuk menjalin koneksi dengan orang lain, dan Google berfungsi sebatas laman pencarian. Tapi, bagi sebagian yang lain, internet dan Google dimanfaatkan untuk berbagi ilmu pengetahuan serta menggali ilmu pengetahuan baru.

Rangkaian kata tersebut melintas begitu saja di otak, sesaat setelah berhasil meng-install GIMP, aplikasi olah gambar/foto semacam Photoshop, dan kemudian sukses mengoperasikannya dengan menjajal memanipulasi sebuah foto hingga lebih menarik dari semula. Hasilnya memang tak sebagus sentuhan desainer grafis profesional, tapi itu sudah cukup membanggakan.

Sesungguhnya yang membanggakan bukan hasilnya tetapi prosesnya: proses belajar dari nol pengetahuan tentang desain grafis hingga bisa. Tak ada guru atau instruktur khusus yang mengajari. Semua dipandu Google: mulai dari cara mendapatkan/mengunduh file aplikasinya (termasuk menentukan/menyesuaikan jenis aplikasi dengan jenis sistem operasi yang digunakan: OSX/iOS, Windows, Linux, Unix, Android, dan sebagainya), meng-install, hingga cara mengoperasikan aplikasi gratis tersebut.

Caranya hanya dengan mengetikkan kata kunci "how to get/downlod GIMP…", "how to install GIMP…", "how to use GIMP…", "how to create/make…on/in GIMP...", dan seterusnya, pada kolom pencarian Google. Lalu, hanya dalam hitungan detik, bermunculanlah ratusan bahkan ribuan tutorial yang siap di-klik dan dipelajari. Beberapa laman/blog bahkan ada yang mengklasifikasikan tutorialnya berdasarkan tingkat kemampuan: beginner (pemula), intermediate (menengah), dan professional/expert (ahli).

Kendala bahasa tak lagi jadi soal karena Google sudah menyediakan Google Translate. Jika menemui tutorial bagus tapi berbahasa asing, cukup meng-copy dan paste teksnya pada halaman Google Translate, dan sesuaikan dengan terjemahan bahasa yang diinginkan. Hasil terjemahannya memang cenderung sekadar menerjemahkan kata per kata sehingga seringkali tidak sesuai konteks. Tetapi, hal itu sudah lumayan membantu.

Jika malas membaca instruksi-instruksi pada tutorial yang berbentuk teks, di Google juga tersedia tutorial dalam bentuk video (kebanyakan dari Youtube) yang menampilkan cara-cara pengoperasian, tahap demi tahap, dari awal hingga akhir. Tutorial yang begini lebih gampang diikuti karena tanpa teks dan suara pun masih bisa menyimak videonya.

Cara semacam itu tentu tidak hanya dapat diterapkan pada pengetahuan teknis semacam desain grafis, tetapi juga pada bidang lain. Misal, cara memasak, merawat tanaman atau hewan peliharaaan, membuat ramuan tradisional untuk mengobati penyakit tertentu, memodifikasi atau mengutak-atik mesin sepeda motor/mobil, trik atau tips bermain alat musik, teknik menendang bola, dan lain-lain.

Mensin pencarian paling populer sejagat itu juga menyediakan tutorial memperbaiki komputer/notebook/ponsel yang rusak, mengutak-atik tampilan web/blog melalui HTML, membuat pemancar radio/televisi/internet nirkabel, membuat film independen, merekam musik, mendesain rumah idaman, dan masih (sangat) banyak lagi.

Tak hanya itu. Belakangan, muncul tren "kuliah online" (istilah karangan penulis) dari para dosen, profesor ternama atau pakar di bidang tertentu dari seluruh dunia. Gratis dan boleh bolos suka-suka. Cukup mengetikkan kata-kata tertentu pada kolom pencarian Google. Misal, "Steve Jobs Stanford Commencement Speech", atau "Bill Gates Speech at Harvard", atau "Philosophy Lecture: Justice", atau "Kuliah Umum Menteri BUMN RI - Dahlan Iskan", atau "Kuliah Umum: Asal-usul Kecerdasan Manusia oleh Dr Daoed Joesoef", dan sejenisnya. Google akan segera menampilkan video-video kuliah umum yang diunggah di Youtube.

Sejumlah akademisi dari beragam disiplin ilmu pengetahuan, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, sengaja merekam kuliah regulernya di ruang-ruang kelas di kampusnya, dan mengunggahnya di Youtube. Seluruh dunia dapat menyimak kuliah tersebut tanpa harus berada di kelas sang dosen.

Terobosan baru dilakukan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Ia, bekerja sama dengan MIT, membuka kelas gratis di internet yang bisa dinikmati pelajar di seluruh penjuru dunia. Kursus yang ditawarkan melalui edx itu memberikan kuliah melalui video, kuis online, dan pemeriksaan real-time. Siswa akan menerima sertifikat keahlian berdasarkan hasil belajar mereka.

Di Indonesia, kuliah semacam itu (mengunggah video kuliah di Youtube atau kuliah online ala Harvard) belum (terlalu) populer. Sebab, selain membutuhkan jaringan internet yang memadai, juga memerlukan perangkat-perangkat lain serta keterampilan tertentu, seperti teknik pengambilan gambar atau penyuntingan video, dan sebagainya. Tapi, itu hanya soal waktu: cepat atau lambat.

Bukan mustahil dan hanya soal cepat atau lambat pula, kelak anak-anak sekolah dasar untuk belajar membaca dan menulis, belajar menghitung, belajar menyanyi, belajar menggambar dan lain-lain, tidak perlu lagi ke sekolah melainkan cukup mengakses Google. Cara belajar mereka tentu akan jauh lebih variatif karena gurunya adalah umat manusia di jagat ini. Mereka dapat berinteraksi: berbagi pengetahuan maupun bertanya, kepada siapa pun. Mereka juga tak akan lagi menggambar gunung dengan satu warna hijau saja, karena pasti akan lebih banyak referensi untuk menggambar gunung.

Nah, jika sudah begitu, sekolah akan kembali pada fungsi semula, yakni kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka: bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa kanak-kanak dan remaja. Sebab, kata sekolah yang berasal dari bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola, memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Dengan demikian, bersekolah akan menjadi aktivitas yang menyenangkan, sama seperti bermain.

Bukan hanya itu. Proses belajar, dalam konsep pendidikan yang membebaskan, seperti dikatakan Paulo Freire, bukan seperti sistem bank --sebagaimana terjadi sekarang-- yang menganggap peserta didik sebagai tabungan yang akan selalu menerima ilmu dari guru. Dalam proses ini, guru dianggap paling mengerti sedangkan siswa tidak tahu apa-apa. Ruang-ruang kelas membelenggu jiwa bebas dan pikiran mereka.

Freire menyatakan konsep pendidikan problem posing education (pendidikan hadap masalah), yakni guru berperan sebagai teman murid yang memotivasi untuk berpikir kritis. Hal yang demikian penting dalam sudut pandang pendidikan yang membebaskan, agar manusia menjadi tuan dalam pemikirannya sendiri, dengan berdiskusi tentang pikiran dan pandangannya tentang dunia dengan orang-orang di sekitarnya. Belajar ala Google sangat memungkinkan terjadinya hal itu, karena ia melibatkan interaksi seluruh manusia dari beragam bangsa dan negara.

Bagi orang dewasa pun, belajar akan lebih mengasyikkan sekaligus menantang. Tidak perlu ke kampus atau masuk ruang-ruang kelas untuk kuliah, aktivitas yang bagi para pekerja cukup menyita waktu. Sembari menjalankan pekerjaan, iseng-iseng berselancar di Google mencari tutorial mendesain interior rumah atau tutorial memperbaiki kompor gas yang rusak. Atau, bereksperimen membuat reaktor nuklir sederhana sebagai alternatif kebutuhan listrik di rumah. Bukan mustahil.


Baca juga:

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker!
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Mengenal Tuhan Media
Modus Baru Operator Seluler Nyopet Pelanggan

Ideologi Komersial dan Ideologi Media

Ilustrasi media (Sumber: Clermontsearch.com)



Jika tak dapat disebut bertentangan, bisnis media dan ideologi media/pers sesungguhnya tak pernah seiring-sejalan. Keduanya, jelas, memiliki kepentingan yang tak dapat diseiringkan. Tak pula disejalankan. Di satu sisi, bisnis media berkepentingan meraih keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Ideologi komersial, begitu lebih tepatnya. Maka, informasi atas sebuah fakta diperlakukan sebagai komoditas yang (harus) bernilai jual.

Di sisi lain, media massa memuarakan tujuan aktivitas jurnalistiknya untuk kepentingan publik. Pengabdian pada kebenaran dan kepentingan publik, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, merupakan prinsip dasar jurnalisme. Hal demikian yang kemudian disebut ideologi media/pers.

Karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa tak ada pertentangan antara bisnis dengan ideologi media, seperti pendapat Amir Effendi Siregar dalam Bisnis dan Ideologi Media (Kompas, 24 April 2010). Menjalankan ideologi media, menurutnya, bukan berarti harus mengorbankan bisnis media. Sebab, bisnis yang baik adalah yang dijalankan sesuai dengan ideologi yang bermanfaat buat masyarakat.

Masalahnya, hal yang dianggap bermanfaat bagi masyarakat tak serta-merta menjadi kebaikan atau dapat dijalankan oleh bisnis media. Kebenaran dan kepentingan publik --yang merupakan prinsip dasar jurnalisme-- tak niscaya menjadi kemanfaatan (ekonomis) bagi bisnis media. Sebab, informasi atas sebuah kebenaran atau kepentingan publik harus memiliki kriteria bernilai jual lantaran ia adalah komoditas. Pengertian sederhananya: buat apa membuat berita jika korannya tak dibeli masyarakat, atau stasiun televisinya tak dapat pasokan iklan.

Sebuah informasi yang benar (sesuai fakta) dan menyangkut kepentingan publik dapat menjadi ‘komoditas yang baik’ untuk masyarakat, pun untuk bisnis industri media. Syaratnya, ia harus bernilai jual (lazimnya berkarakter kontroversial, menghebohkan, provokatif). Namun, tak semua informasi yang benar dan menyangkut kepentingan publik bernilai jual, sehingga bukan ‘komoditas yang baik’ dan dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi industri media.

Fakta tentang rusaknya sebuah separator busway di Jakarta, misal, tentu bukan/kurang memenuhi unsur sebagai ‘komoditas yang baik’ dibanding hasil laporan investigasi tentang rekening gendut perwira Polisi (yang justru kontroversial dan memerlukan pengujian/pembuktian). Keduanya adalah fakta (meski yang terakhir adalah fakta yang perlu pembuktian lebih lanjut) dan menyangkut kepentingan publik. Namun, media memperlakukan keduanya berbeda: ada yang memberitakan ala kadarnya, dan ada pula yang tak peduli.

Kasus peredaran video adegan dewasa yang disebut-sebut mirip tiga pesohor papan atas Tanah Air pada 2010, juga contoh yang masih segar dalam ingatan. Betapa media lebih bergairah memburu informasi atas fakta seputar peredaran video tak senonoh itu ketimbang kabar tentang buruknya pelayanan sebuah puskesmas di ujung pedalaman Kalimantan sana. Apa pasal? Kasus video merupakan ‘komoditas yang baik‘ dan lebih bernilai jual, sedangkan perkara puskesmas tidak/kurang.

Contoh yang demikian, belum termasuk dalam persoalan terkategori ‘komoditas yang baik‘ dan bernilai jual plus berbau gossip alias fakta yang dioplos dengan opini. Media massa televisi, terutama sekali infotainment, yang paling banyak memerankan fungsi demikian. Jelas, menjadi perkara tambahan bagi hubungan bisnis dan ideologi media. Sebab, selain telah melanggar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, informasi/berita tentang fakta yang dicampur opini juga akan mengaburkan fakta itu sendiri. Tujuannya tak lain kepentingan ekonomis semata.

Berita dalam makna ‘komoditas yang baik’ serta bernilai jual (dan yang sebaliknya) itu pun tak pernah merupakan fakta sesungguhnya fakta. Sebab, berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Maka, berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya (Wilbur Schramm, 1949).

Sebagai sebuah kerangka peristiwa yang telah direkonstruksi, tentu, berita dapat memiliki kepentingan sendiri, meski tetap merupakan kepentingan ekonomis. Berita --walau pun telah berdasar prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik-- tetap dapat disesuaikan atau diselaraskan dengan kepentingan pemilik modal atau pemilik bisnis media.

Makna sederhananya, hasil liputan atau berita yang dibuat sang jurnalis terbuka ruang untuk disesuaikan dengan kepentingan mana pun, terutama kepentingan industri media sendiri. Sang jurnalis hanya bagian kecil dari seluruh struktur sosial yang lebih besar. Struktur sosial di luar sang jurnalis itu dapat begitu kuat memengaruhi seluruh isi berita media massa.

Negara di Antara Dua Ideologi

Senyampang masih dalam batas-batas yang dibolehkan menurut prinsip dasar dan kode etik jurnalistik, kapitalisasi informasi barangkali dapat diwajarkan. Namun, tak boleh dibiarkan. Berbeda ketika kapitalisasi informasi itu telah berani melanggar nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Kapitalisasi semacam itu tak boleh dianggap wajar, apalagi dibiarkan.

Seperti halnya pemberitaan berlebihan oleh media infotainment terkait kasus peredaran video dewasa yang menghebohkan dan sensasional itu. Hal demikian tidak saja melanggar nilai dan norma serta prinsip dasar dan Kode Etik Jurnalistik, melainkan juga turut berperan bagi pembodohan masyarakat. Sebab, dalam konteks ini, masyarakat hanya bisa pasrah sebagai konsumen media. Sementara, media tiada henti menggempur masyarakat dengan informasi-informasi yang tak baik untuk dikonsumsi.

Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki instrumen untuk mengatasi hal tersebut. Dalam hal penyiaran, lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menjadi yang terdepan bagi perkara sengketa ideologi komersial dengan ideologi media/pers. Industri media tak dapat dan tak boleh berlindung di balik alasan kebebasan pers yang memang dijamin oleh konstitusi.

KPI, juga Dewan Pers, harus mampu memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa tayangan atau informasi yang disajikan industri media benar-benar untuk kebaikan publik. Jika tidak, industri media yang menikmati keuntungan ekonomis, dan justru masyarakat yang merugi.

Baca juga:

Lemparkan Saja Batunya ke Hacker
Ideologi Tak Pernah Mati
‘Koalisi Besar’ versus ‘Monster Gratisan’
Musik Rock Amerika Bercita-rasa Bali