Terima Kasih, Nativity!

Natal 2008 memberikan kesan tersendiri bagi pribadi saya. Bukan lantaran saya mendapatkan kasih Kristus pada hari itu, sebab saya adalah seorang muslim. Melainkan karena saya semakin meyakini bahwa umat beragama sejatinya adalah bersaudara. Saya merasa mendapatkan pencerahan baru bahwa kerukunan antarumat beragama adalah sebuah keniscayaan. Ya, keniscayaan, bukan keharusan atau kewajiban.

Kamis, 25 Desember 2008 malam, saya menyaksikan tayangan film dokumenter di salah satu televisi swasta nasional. Film tersebut berkisah tentang keberadaan Gereja Nativity, di Bethlehem, Tepi Barat, Palestina. Gereja itu (pernah) menjadi tempat berlindung 400 warga dan gerilyawan Palestina dari kejaran tentara Israel. Mereka yang sebagian besar adalah muslim berlindung di gereja yang diyakini merupakan tempat kelahiran Yesus pada lebih 2.000 tahun silam itu.

Diceritakan pula di film itu bahwa Gereja Nativity merupakan kawasan netral, tak ada hubungannya dengan konflik Palestina-Israel. Namun, gereja itu justru menjadi tempat di antara medan pertempuran gerilyawan Palestina dan tentara Israel. Tugas para pastor dan suster tidak hanya melayani peziarah dan jemaah yang datang untuk sembahyang, tapi juga melindungi siapa pun tanpa memandang latar belakang ras dan agama, termasuk warga Palestina maupun Israel.

Jujur saja, saya baru mengetahui hal itu (tolong jangan tertawakan ketidaktahuan saya ini). Selama ini yang saya tahu adalah bahwa di sana ada sebuah gereja yang dipercaya sebagai gua kandang domba tempat bayi Yesus dilahirkan. Selama ini yang saya pahami, gerilyawan Palestina yang (sebagian besar) muslim itu saling gempur dengan tentara Israel yang kaum Yahudi.

Selain itu, hal yang saya ketahui adalah bahwa muslim Palestina dan Yahudi Israel sama-sama menjadi korban perang. Pengetahuan saya alpa bahwa warga sipil Palestina yang menganut Kristen Ortodok pun menjadi korban “perang abadi” itu. Ironisnya, sebagian saudara muslim saya di Tanah Air memahami perang itu merupakan “sekedar” konflik Muslim Palestina dengan Yahudi Israel. Padahal, kenyataannya tidaklah sesederhana itu.

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.

Konflik Israel-Palestina bukanlah sebuah konflik dua sisi sederhana. Barangkali sebagian memahaminya bahwa dari konflik itu seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.

Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya. Sebagian menganjurkan solusi dua negara. Dan, sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini: Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Tapi, apa pun yang melatarbelakangi perang itu, dan mana pun wilayah yang diperebutkan Palestina maupun Israel, korban sudah terlalu banyak. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan masukan solusi atas konflik kedua bangsa tersebut. Melainkan hanya ingin menegaskan kembali bahwa Kristiani di Palestina telah menyediakan Gereja Nativity sebagai tempat perlindungan bagi sekian (entah berapa jumlah pastinya) saudara saya sesama muslim Palestina.

Saya ingin menegaskan kembali bahwa hubungan saling membantu, saling menolong, saling menghargai dan menghormati antarumat beragama bukanlah kewajiban, tapi keniscayaan. Hal yang dilakukan Kristiani di Gereja Nativity pada Muslim Palestina (dan juga Yahudi Israel) bukti jelas bahwa agama (apa pun) tak pernah mengajarkan kekerasan, tak pernah menganjurkan permusuhan. Jika ada opini bahwa agama merupakan penyebab konflik tersebut, itu hal yang dipaksakan. Terima kasih, Nativity!

Densus 86 Anti-Tekor

Pasukan antiteror TNI/Polri berhasil melumpuhkan anggota teroris yang menduduki sebuah hotel di Jakarta, Minggu (21/12). Terlihat Tim Penanggulangan Teror (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopasus) bersama anjing pelacak diterjunkan di hotel itu melalui sebuah helikopter.

Sejumlah anggota tim Gultor Kopasus berusaha masuk melalui jendela hotel. Pasukan terlihat berhasil membebaskan sandera yang ditawan para teroris. Tampak pula seorang anggota Gegana Markas Besar Polri sedang mengoperasikan robot penjinak bom.

Pasukan seluruhnya berpakaian serba hitam dan dilengkapi senjata otomatis. Mereka dilengkapi pula dengan helm, masker dan kacamata serta rompi tahan peluru yang seluruhnya juga berwarna hitam.

Wah, kerreenn... Tapi, maaf, itu hanya simulasi. Artinya bukan kejadian sungguhan. Aksi tersebut merupakan latihan gabungan antara TNI/Polri. Tidak hanya digelar di sebuah hotel tersebut, melainkan juga secara serentak di Selat Malaka, Jakarta, Semarang (Jawa Tengah), Yogyakarta, Surabaya (Jawa Timur) dan Denpasar (Bali). Melibatkan 6.597 personel lapangan dan 350 personel posko.

Entah sebagai bentuk antisipasi menyusul aksi teror di Mumbai, India, pada akhir November lalu, atau memang merupakan latihan rutin antara TNI dan Polri. Tapi, sebuah sumber mengatakan, simulasi itu untuk melatih kesigapan dan ketanggapan dalam menghadapi aksi terorisme di Indonesia menjelang Natal, Tahun Baru dan Pemilu 2009.

Dari seluruh aksi simulasi penanggulangan teror yang digelar secara serentak di enam lokasi di kota yang berbeda itu, tak ada laporan bahwa pasukan TNI-Polri gagal. Semuanya berhasil. Seluruhnya berjalan sesuai rencana dan sistematis. Pasukan penyelamatan datang tepat waktu. Sandera berhasil dibebaskan. Teroris sukses dibekuk.

Kejadian itu mengingatkan saya tentang sebuah ancaman teror bom yang diterima seorang staf sebuah gedung di kawasan Kramat Raya, Jakarta, awal Desember lalu. Ancaman bom melalui telepon itu diterima sekira pukul 13.15 WIB. Dan, seketika itu juga, langsung dilaporkan ke Markas Kepolisian Resor Jakarta Pusat yang berjarak sekira 100 meter dari lokasi yang diancam bom.

Namun, kisah sukses seperti yang terjadi pada simulasi penanggulangan teror tersebut di atas tidak terjadi. Bom—seperti ancaman sang peneror—memang tak ada. Tapi, Tim Gegana Satuan Brimobda Metro Jaya tiba di lokasi sekira pukul 15.00 WIB (mungkin lebih). Itu artinya, tim khusus yang bertugas mengatasi teror dan penjinakan bahan peledak tersebut, datang ke lokasi lebih dari 2 jam setelah ancaman bom diterima. Saya tidak sedang dalam pengaruh alkohol saat menulis “2 jam” itu. Benar, Gegana datang 2 jam kemudian.

Padahal, sang peneror itu mengatakan bahwa bom yang ia pasang di gedung tersebut akan meledak 3 menit setelah telepon ditutup. Itu artinya, jika bom memang ada, dan lalu meledak, tak akan ada siapa pun yang dapat berbuat banyak. Apalagi tim Gegana.

Pasukan detasemen itu bahkan kalah cepat tiba di lokasi dibanding para wartawan. Sekira 30 menit setelah ancaman bom itu diterima, beberapa wartawan (elektronik, cetak dan online) sudah berada di lokasi. Para wartawan pun terlihat santai setelah mengetahui (lebih tepatnya: menduga kuat) bahwa ancaman bom itu nihil alias tidak ada. Beberapa ada yang mengetik laporan (berita) melalui ponsel untuk dikirim ke redaksi di kantornya.

Saat unit Gegana bersenjata lengkap datang (terlambat), saya memberi tahu kawan-kawan wartawan. “Eh, Gegana datang, tuh.” Lalu, seorang kawan wartawan sebuah stasiun radio menimpali: “Ya, sudah, kasih mereka duit, biar mereka cepat pulang.” Disambut seorang kawan wartawan lainnya dengan nada bercanda: “Ya, mereka itu Densus 86 Anti-Tekor.” Bukan Densus 88 Anti-Teror yang konon disinyalir dibiayai Amerika Serikat itu.

Angka “86” (bukan “88”) merupakan istilah yang berkembang pada sebagian kalangan wartawan yang menerima ‘amplop’ dari narasumber. Sedangkan “tekor” merupakan bahasa Jawa yang maknanya “merugi”. Jadi, “anti-tekor” artinya, tidak mau merugi. Apakah Densus 88 Anti-Teror itu juga bisa disebut Densus 86 Anti-Tekor? Saya tidak tahu. Kalau pun tahu, saya tidak mau menjawabnya.

Foto: Inilah.com

Adakah Pilihan Selain Golput dan Tidak Golput?

Beberapa pekan terakhir, wacana golput alias sikap politik tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum (pemilu) semakin menguat. Golput memang bukan istilah baru dalam kamus politik di Indonesia. Ia sudah ada sejak bangsa ini mengenal istilah demokrasi atau lebih tepatnya setelah mengenal pemilu.

Namun demikian, sikap politik yang sejatinya pribadi itu, belakangan seakan menjadi sebuah gerakan atau wacana bersama, setidaknya oleh para elit politik. Wacana tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu itu dipicu pernyataan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menyerukan masyarakat agar tidak memilih dalam Pemilu pada 2009 mendatang.

Rupanya, seruan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari itu ditanggapi serius oleh para elit partai politik dan petinggi negara di Republik ini. Sebagian ulama Partai Kebangkitan Bangsa pun sempat mengeluarkan fatwa bahwa berpartisipasi dalam pemilu adalah fardu kifayah atau kewajiban kolektif. Dan, golput hukumnya haram.

Wacana itu terasa semakin mengemuka saat Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid melontarkan usulan agar NU, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bersama tentang hukum haram golput. Praktisi dan para pengamat politik pun tak ketinggalan urun komentar.

Gagasan bekas presiden Partai Keadilan (Sejahtera) itu cukup beralasan. Pasalnya, ia menilai bahwa indikasi golput pada Pemilu mendatang sangat besar. Sejumlah hajatan pesta demokrasi lokal atau pemilihan kepala daerah yang banyak diwarnai sikap golput, merupakan bukti nyata atas kekhawatiran itu.

Fatwa haram golput tersebut barangkali bisa menjadi solusi atas kekhawatiran makin maraknya ‘tren’ golput. Fatwa itu bisa saja ‘memaksa’ rakyat untuk tidak golput. Tapi, hal itu jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan. Golput atau tidak golput, sejatinya adalah hak setiap warga negara. Kedua sikap tersebut dijamin oleh konstitusi.

Alasan paling masuk akal atas sikap golput adalah bahwa berpartisipasi dalam pemilu pun tak bakal mengubah keadaan. Para elit partai bukannya sibuk memikirkan nasib dan penderitaan rakyat, yang terjadi justru sibuk berkonflik. Tak semua partai, memang. Tapi fenomena itu terjadi pada hampir semua partai besar. Pemerintahan sekarang yang merupakan hasil pemilu 2004 pun tak banyak berbuat banyak selama masa kerjanya.

Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, pilihan golput ternyata juga dinilai sebagian pengamat politik sebagai sikap yang tidak tepat. Kalau tidak salah, Profesor Riset pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Ikrar Nusa Bakti pernah mengatakan, golput bisa diartikan sebagai sikap tidak mau berdaulat dengan negara ini. Nah, lo!

Jika mengikuti pandangan Ikrar, siapa pun warga negara yang memilih golput, berarti ia tidak ingin berdaulat atau tidak mengakui keberadaan Republik ini. Artinya, jika sudah menolak berdaulat, maka ia tidak dapat disebut sebagai warga negara, tidak punya hak untuk protes, tidak punya hak perlindungan hukum, serta tidak punya hak-hak lainnya.

Kedua pilihan tersebut (golput atau tidak golput), bagi saya, sama-sama tidak mengenakkan. Keduanya ibarat saya sedang sangat membutuhkan obat untuk menyembuhkan sakit kepala. Lalu, ada orang menawarkan obat, tapi orang tersebut tak dapat menjamin obatnya manjur dan dapat mengobati sakit kepala saya. Namun, jika saya menolak meminum obat tersebut, maka tak ada harapan lagi bagi saya untuk sehat kembali.

Golput atau tidak golput pun demikian. Tak ada jaminan jika saya (atau bahkan seluruh rakyat) berpartisipasi dalam pemilu, lalu nasib negeri ini akan lebih baik. Jika memilih golput, bisa jadi saya dianggap tidak memiliki hak sebagai warga negara. Adakah pilihan selain golput dan tidak golput?

Atau, mau pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Amerika Serikat? Oh, enggaklah. Nanti saya dilempar sepatu seperti yang terjadi pada Presidennya, George W. Bush. Lagipula saya penganut fanatik paham “Hujan batu di negeri sendiri, lebih baik daripada hujan emas di negeri orang.”

Kiat Jitu Melempar Sepatu bagi Jurnalis

Seorang jurnalis stasiun Televisi Baghdadia melempar sepatunya ke arah Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, saat konferensi pers bersama Perdana Menteri Irak, Nuri Al Maliki, di Bagdad, Irak, Senin (15/12/2008).

Tindakan yang dilakukan jurnalis bernama Muntazar Al Zaidi itu sungguh ibarat tamparan keras bagi para jurnalis di planet ini. Bukan lantaran aksi supernekadnya, melainkan karena lemparannya tak mengenai sasaran. Padahal, Muntazar melakukannya dua kali.

Di masa mendatang, selain harus memiliki kemampuan jurnalistik yang memadai, penting bagi seorang jurnalis untuk dibekali keterampilan melempar sepatu. Agar lemparan selalu tepat mengenai sasaran, simaklah kiat-kiat berikut:

1. Latihlah kemampuan melempar Anda sesering mungkin. Setiap latihan, tak perlu lama, cukup 60 menit dalam sehari. Idealnya dilakukan 3 kali dalam sepekan selama 3 bulan. Tahapan ini penting untuk melatih otot pada bagian lengan dan bahu agar tidak mudah keseleo serta melatih melempar sepatu setepat mungkin.

2. Persiapkan ‘amunisi’. Layaknya serdadu yang hendak ke medan perang, amunisi harus cukup. Demikian pula bagi para jurnalis yang ingin melempar sepatu pada narasumber saat konferensi pers. Pastikan sepatu yang akan digunakan berbahan keras. Sepatu sejenis lars tentara bisa dipertimbangkan untuk digunakan.

3. Jangan sesekali mencoba menggunakan sepatu dengan macam-macam asesori berbahan logam berlebihan. Sepatu koboi, misalnya. Seorang jurnalis yang menggunakan sepatu jenis ini, tentu akan mengundang perhatian banyak orang alias norak. Selain itu, sepatu jenis ini tentu tak akan lolos saat melewati alat pendeteksi logam (metal detector) pada pintu pemeriksaan. Pemeriksaan semakin ketat jika yang akan menggelar konferensi pers adalah seorang kepala negara seperti Bush. Jika Anda memaksa menggunakannya, jangan menyesal jika nantinya bakal kehilangan dua momentum besar: meliput acara dan melempar sepatu.

4. Pastikan posisi Anda sedekat mungkin dengan obyek sasaran. Tahapan ini penting untuk diperhatikan. Pasalnya, dalam kasus Bush, Muntazar berada cukup jauh, yakni sekira 6 meter dari obyek. Faktor itulah yang menjadi salah satu sebab aksinya gagal total. Jarak tersebut barangkali bukan masalah serius jika Muntazar adalah seorang jurnalis yang juga pelempar sepatu profesional.

5. Pastikan sasaran tak terlindungi. Kasus Bush, bisa dijadikan contoh. Ia berada dalam posisi terbuka, tak ada apa pun yang melindungi dirinya, termasuk pasukan pengamanan presiden. Ia juga tidak sedang di dalam mobil kepresidenan berlapis baja yang antipeluru. Jadi, cukup leluasa untuk melancarkan serangan melempar sepatu.

6. Pastikan sasaran terkunci. Usahakan lemparan sepatu tepat mengenai sasaran dalam sekali lontar. Jika ingin melakukannya lebih dari sekali, usahakan juga semuanya mengenai sasaran, jangan ada satu pun yang meleset. Untuk melakukan tahapan ini, pengendalian emosi menjadi sangat penting. Sebab, faktor lain yang menyebabkan Muntazar gagal melancarkan aksinya adalah ia tampak tak mampu mengendalikan emosi, amarah atau kebenciannya pada Bush. Akibatnya, bidikan tak mengarah tepat pada obyek sasaran. Dan, Bush pun punya kesempatan sekian detik untuk mengelak.

7. Ukur perkiraan ruang jika obyek bergerak atau mengelak. Maksudnya, Anda bisa mengira-kira seberapa lebar ruang yang tersedia untuk mengelak. Dalam kasus Bush, ia memiliki ruang tidak lebih dari 30 sentimeter untuk mengelak ke kanan atau ke kiri. Tahap ini gampang-gampang susah, apalagi jika Anda pelempar pemula. Sebab dibutuhkan naluri yang kuat. Kuncinya adalah pada latihan. Dan, rupanya Muntazar tak melakukan hal itu.

8. Pastikan pengamanan dalam kondisi lemah atau lengah. Kondisi tersebut dapat Anda manfaatkan sebaik-baiknya untuk melancarkan jurus langkah seribu alias kabur. Keberhasilan pada tahapan terakhir ini sangat bergantung pada keberuntungan Anda. Sebab, jika sudah melancarkan aksi melempar sepatu (gagal atau berhasil), pasukan pengaman presiden akan secepat kilat meringkus Anda. Seperti halnya yang dilakukan pasukan pengamanan presiden Bush saat meringkus Muntazar. Jadi, banyaklah berdoa.

Demikian kiat-kiat jitu melempar sepatu bagi para jurnalis. Semoga (tidak) bermanfaat. Edisi berikutnya akan diulas tentang kiat-kiat jitu menghadapi serangan lemparan sepatu bagi pasukan pengamanan presiden. Ada yang tertarik membantu?

Merantau, Alternatif Film Memedi, Cinta-cintaan dan Lawakan Garing

Tak lama lagi, dunia perfilman di Tanah Air bakal diramaikan dengan kehadiran film baru, judulnya: Merantau. Film bergenre laga itu dibintangi aktris kenamaan, Christine Hakim serta Alex Abbad, Donny Alamsyah, altet pencak silat nasional, Iko Uwais dan dua aktor asing aktor asing seperti Mads Kudal asal Denmark dan Laurent Buson (Prancis).

Film yang digarap sutradara asal Inggris, Gareth Huw Evans, itu sepertinya layak untuk diapresiasi lebih oleh publik Indonesia. Pertama, dilihat dari bintangnya. Biasanya, nih, film yang “bagus” atau “berkualitas” bisa dilihat dari aktor atau aktris pemerannya. Demikian pula sebaliknya. Sederhananya, sang aktor atau aktris turut menyumbangkan poin atas penilaian publik.

Mendengar nama Christine Hakim ikutan dalam film tersebut, saya yakin, sang sutradara tak mau main-main dalam penggarapannya. Logikanya, memasang aktris yang nge-top lewat film Tjoet Nya' Dhien plus bertarif mahal itu, pastinya tak bakal disia-siakan hanya untuk berperan dalam film ecek-ecek.

Sang Bintang yang juga peraih (kalau tidak salah) 6 Piala Citra itu pun, rasanya, bakal menolak tawaran bermain di film macam Hantu Terowongan Casablanca atau Love Is Cinta. Kalau pun Christine Hakim mau, seluruh biaya produksi film macam begituan, pastinya akan habis hanya untuk ‘honor’ sang bintang yang juga peraih penghargaan Best Actrees di Asia Pasific International Film Festival itu. Sebab, film seperti itu cukup bermodal judul yang heboh. Soal cerita, gambar, dan kemampuan akting para pemainnya, itu urusan nomor 27.

Seorang teman berkomentar pada saya ketika saya beritahu perihal film Merantau itu. “Kalau bintangnya Christine Hakim, itu sudah jaminan mutu, filmnya pasti bagus. Enggak usah liat siapa sutradaranya. Kamu (maksudnya: saya) yang menyutradarai pun, kalau yang main Christine Hakim, pastinya bagus. Saya pasti nonton,” terangnya.

Alasan kedua adalah film yang akan dirilis pada April 2009 itu mengangkat tema beladiri khas Indonesia, yakni, pencak silat. Merantau mengangkat cerita salah satu tradisi di Minangkabau, Sumatera Barat, di mana seorang anak laki-laki harus melakukan perjalanan guna memperoleh nama untuk dirinya.

Mendengar istilah “pencak silat” yang merupakan ilmu bela diri khas Indonesia atau Asia itu, saya jadi teringat film laga jadul seperti Si Buta dari Gua Hantu, Si Jampang, Si Pitung, atau Saur Sepuh, dan lain-lain. Saya kira, Merantau dapat menghidupkan kembali tokoh-tokoh jagoan berantem tersebut. Setidaknya, film tersebut dapat memperkenalkan atau memopulerkan kembali kesenian pencak silat yang berakar pada budaya Melayu itu.

Tak perlu berharap banyak bahwa Merantau bakalan dapat menyaingi film laga Barat garapan Hollywood layaknya Die Hard, The Matrix, James Bond atau Mission Impossible dan lain-lain. Atau, film laga Mandarin macam Once Upon a Time in China, The Forbidden Kingdom, Police Story, Crouching Tiger Hidden Dragon, atau Curse of the Golden Flower. Memang belum mungkin untuk menyaingi mereka. Tapi, setidaknya, Merantau dapat menjadi tontonan alternatif atas maraknya film bergenre memedi (hantu, mistik), film cinta-cintaan atau film lawakan (komedi) garing yang ada di negeri ini.

Sebab, film memedi yang kini ‘menghantui’ studio bioskop di Tanah Air itu, bukannya bikin ngeri atau takut saat menontonnya. Yang terjadi justru tertawa. Lucu, sih. Demikian pula film cinta-cintaan yang sedang ‘menebar virusnya’ pada kalangan remaja di Nusantara ini. Alih-alih mengajarkan cinta dan kasih sayang sejati, yang terjadi justru perselingkuhan, gaya hidup glamour dan hedonisme. Bagaimana dengan film komedi? Ooww…bagi yang sedang stres, saya sarankan jangan menonton film komedi Indonesia, nanti malah jadi sedih dan menangis.

Woi… FPI Mau Bikin Parpol!

Saudara-saudara, Sahabat-sahabat, Teman-teman…! Ada kabar baru, nih, tentang Front Pembela Islam (FPI). Ditulis Okezone.com, FPI mengancam akan membentuk partai politik (parpol) jika keberadaan parpol sekarang tidak berkomitmen membubarkan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Saya kutipkan berita selengkapnya, berikut: Front Pembela Islam (FPI) menyatakan tidak akan membentuk partai politik (parpol). Namun begitu, hal ini masih akan ditinjau kembali melihat situasi dan kondisi parpol Islam yang telah ada.

"FPI tidak akan membentuk parpol baru. Tapi, itu pun masih ditinjau jika dalam waktu tertentu parpol Islam yang ada sekarang tidak juga berkomitmen membubarkan Ahmadiyah, barulah FPI akan membentuk parpol baru," ungkap Panglima Laskar FPI Ja'far Shiddiq di Markas FPI, Petamburan II, Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2008).

Selain itu, para anggota FPI menyatakan sikap politik mereka terhadap Pemilu 2009 yaitu tidak akan menggunakan hak pilih mereka. "FPI tidak akan menggunakan hak pilih jika tidak ada parpol yang berkomitmen untuk membubarkan Ahmadiyah," tandasnya.

Rumusan FPI ke depan, lanjut Ja'Far, merekomendasi pengkajian untuk pendirian partai Islam di bawah kontrol FPI dengan program utamanya, yaitu, penerapan syariat Islam dalam bingkai NKRI.

Menyimak berita itu, saya langsung ingin tertawa (juga sedikit mengumpat). Tertawa pertama lantaran tujuannya atas niatan tersebut.

Dari segi pengertian parpol, bolehlah FPI membentuk parpol. Sebab, siapa pun bisa membentuk parpol asalkan merupakan kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.

Dari segi tujuannya, memang tak dilarang. Sebab, tujuan parpol ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik—(biasanya) dengan cara konstitusional—untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Parpol yang dibentuk FPI nantinya bakal punya wakil di parlemen yang bisa memengaruhi atau mengubah kebijakan.

Namun, alangkah sangat naif jika pembentukan parpol itu hanya dan sekedar bertujuan membubarkan JAI. Lantas, jika, misal, JAI berhasil dibubarkan, maka parpol FPI itu tak akan berfungsi lagi. Kalau sudah demikian, anggota DPR dari “Fraksi FPI” tentu bakal memiliki banyak waktu luang alias menganggur lantaran tak ada lagi persoalan yang perlu dibahas. Dan, anggota DPR dari “Fraksi FPI” yang akan paling banyak menganggur adalah anggota DPRD provinsi atau kota/kabupaten. Pasalnya, regulasi tentang pembubaran JAI itu merupakan kewenangan kebijakan pemerintah pusat.

Tertawa kedua karena nantinya anggota (berapa pun jumlahnya) DPR RI dari “Fraksi FPI” hanya akan bertugas di Komisi VIII yang membidangi Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan. Mereka tak bakalan mau ditempatkan di komisi yang membidangi Pertahanan, Agraria, Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, Pangan, Perhubungan, Perumahan Rakyat, dan sebagainya. Sebab, tujuan mereka hanya hanya satu: membubarkan JAI.

Tertawa ketiga disebabkan kontradiksi antara tujuan pembentukan parpol dengan sikap anggota FPI yang akan golput alias tidak menggunakan hak pilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Soal ini bukan perkara golput adalah bagian dari hak warga negara. Tapi, bagaimana mungkin berencana membentuk parpol, sementara konstituennya (baca: anggota/simpatisan FPI) justru memilih golput. Lalu, bagaimana mau mengubah kebijakan untuk membubarkan JAI melalui jalur parlementer bila tak memiliki wakil di parlemen?

Tertawa keempat dikarenakan saya tidak bisa membayangkan bagaimana suasana sidang di DPR jika ada anggota “Fraksi FPI”. Barangkali, Senayan itu nantinya bakal berubah fungsi: bukan lagi sebagai lembaga politik melainkan arena duel. Saudara-saudara tahu sendiri, kan, bagaimana ulah organisasi pimpinan Riziq Shihab itu? Atas dasar menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, pastinya mereka tak akan berpikir dua kali untuk menggebuk atau menjotos anggota DPR dari fraksi lainnya yang berbeda pendapat. Kalau wakilnya di DPR masih dalam hitungan jari, satpam di Senayan barangkali masih mengatasinya. Nah, (meski tidak mungkin) apa kata dunia jika mereka menguasai separo kekuatan Senayan?

Tertawa kelima soal pendanaan. Besar atau kecil sebuah organisasi, tetaplah membutuhkan pendanaan. Saya yakin, kalau “partai FPI” itu diwujudkan, maka akan banyak petinggi atau mantan petinggi militer yang tidak merestuinya. Atau, setidaknya, mereka tidak akan memberikan bantuan dana. Sebab, konon, gosipnya, keberadaan mereka dibekingi sejumlah petinggi atau mantan petinggi militer di negeri ini. Dan, kalau partai itu berhasil dibentuk, tentu akan menjadi pesaing kuat partai besutan beberapa pensiunan militer seperti yang sudah ada sekarang.

Terakhir, tertawa keenam lantaran pastinya saya tidak akan memilih “partai FPI”. Sebab, tidak bisa dibayangkan jika saya menjadi simpatisannya atau bahkan anggotanya. He…he…he…

Ampun, Kangen Band!

Dalam sebuah artikel di Wikipedia, saya menemukan sedikit ulasan tentang Kangen Band. Saya kutipkan beberapa kalimat saja: “Oleh beberapa pihak yang iri dan tidak suka, band ini dianggap tidak berkualitas. Band ini dianggap mempunyai musikalitas, dalam, dan luar biasa meskipun begitu band ini cukup sering di-request oleh pendengar radio.”

Saya mungkin termasuk beberapa di antara sedikit atau banyak yang menyetujui pendapat pada kalimat pertama. Tapi, bukan karena iri melainkan lantaran band yang mulai populer sejak tahun 2007 itu tak akan memberikan banyak kemajuan bagi musik di Tanah Air.

Alasannya, pertama, ia akan menyuburkan paradigma bermusik “easy listening”, sekedar enak didengar tanpa peduli kualitas dan pengaruh baik pada masyarakat. Sementara, paradigma tersebut mulai menggejala sejak kemunculan Sheila On 7 pada 1999 silam. Paradigma sekedar “enak didengar” itu, jika kemudian menjadi ideologi bersama para musikus di negeri ini, maka jelas bukan pertanda baik. Slogan bahwa Musik adalah Bahasa Universal, tak akan berlaku lagi. Pasalnya, kriterianya hanya “enak didengar”.

Kedua, bisa jadi band yang digawangi Doddy, Andika, Tama, Lim, Nory, dan Barry itu nantinya bakal menjadi ikon musik di Indonesia. Kalau sudah menjadi ikon, maka akan banyak yang mengikuti jejaknya. Lalu, apa jadinya jika seluruh musik di Republik ini “berjenis kelamin” seperti “kelamin” Kangen Band? Salah satu di antara jawabannya, para musikus tentu tak akan dituntut untuk melakukan pembaruan dan perbaikan kemampuan bermusiknya. Kalau sudah begitu, jangan harap musik garapan anak bangsa ini dapat bersaing dengan anak bangsa lain.

Untuk sementara, musik karya anak-anak di Nusantara ini mungkin dapat dikata berada di posisi atas dibanding negeri tetangga macam Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Myanmar, dan lain-lain. Para musikus negeri tetangga barangkali perlu banyak belajar pada musikus dalam negeri. Tapi, kondisi tersebut tentu tidak akan bertahan lama jika para pemusik di negeri ini berpuas diri dan tak mampu melakukan inovasi-inovasi.

Ketiga, musik sejenis Kangen Band akan menjadi pembenar penilaian bahwa bermusik cukuplah sebatas sebagai lahan mencari uang. Ia tak akan peduli jika bangsa ini sesungguhnya juga butuh pencerahan dan pengetahuan. Kondisi itu akan diperparah jika tema bermusik hanya seputar cinta dan cinta. Ia juga tak tak mau tahu bahwa beberapa jenis musik dulunya pernah menjadi alat perjuangan kaum tertindas. Peduli amat dengan kemiskinan, kemelaratan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.

Kangen Band memang bukan satu-satunya. Masih banyak grup band dan musikus lainnya yang menganut paham sekedar “enak didengar”. Saya tak bisa menyebutkan satu per satu. Sebab, belakangan marak bermunculan silih berganti grup band dan penyanyi sebangsa Kangen Band. Bermodal lagu sekedar enak didengar, peduli amat dengan aransemen, masa bodoh dengan vokal pas-pasan, cuek aja kalau bisanya cuma genjrang-genjreng enggak karuan, dan lain sebagainya. Kalau sudah demikian, saya cuma bisa berkata: “Ampun, Kangen Band!”

Merah Putih, Dhani “Dewa 19” dan “Si Ahli Bersaksi”

Pentolan grup musik Dewa 19, Ahmad Dhani, dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Pakar Telematika, Roy Suryo. Dhani dituduh melakukan pelecehan terhadap bendera Merah Putih. Karena dalam video klip hits terbarunya berjudul Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia, Dhani menampilkan bendera Merah Putih yang bagian tengahnya ditempeli logo Dewa 19.

Kabar itu sudah cukup lama saya terima. Tapi, baru kemarin saya sadar bahwa kasus tersebut adalah masalah. Masalahnya, bukan lantaran Dhani dan Roy berurusan dengan hukum, melainkan perkaranya menyangkut lambang negara. Ya. Merah Putih itu memang lambang negara Indonesia. Bagi warga negara Indonesia, haruslah menghormatinya.

Namun, apakah hal yang terjadi pada video klip grup papan atas itu termasuk pelecehan terhadap Merah Putih? Benarkah si pembuat video klip itu bermaksud melecehkan Sang Saka? Meski tolok ukurnya sangat subyektif, tapi dapatlah kita mengira-kira saja.

Dhani bisa saja berkilah bahwa kain sebesar dan selebar seperti yang ada di video klipnya itu bukanlah bendera Merah Putih, melainkan hanya backdrop sebagai ‘pemanis’ gambar. Sementara, di lain pihak, Roy menganggap bahwa bentangan kain itu nyata-nyata membentuk “merah putih” yang memang mirip bendera Indonesia. Bedanya, pada bagian tengahnya terdapat logo Dewa 19.

Jika memang tingkah Dhani dianggap melecehkan Merah Putih, maka ia bisa disamakan dengan gerakan separatis macam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tapi, rasanya, sangat berlebihan bila disebut begitu. Sebab, dalam lirik lagu terbarunya itu, tak ada satu pun kata atau kalimat yang mengarah pada pelecehan terhadap negara atau Merah Putih. Semangat yang muncul justru merupakan ekspresi kekaguman dan kebanggaan pada Tanah Air, meski dikemas melalui ekspresi kekaguman pada seorang perempuan.

“Merah darahku bulat tekadku. Setelah aku tatap wajahmu. Berkobar seluruh jiwa dan ragaku. Untuk perjuangkan cinta yang kuyakini. Putih tulangku semangat cintaku. Setelah aku raba tanganmu. Rasakan kulitmu yang selembut salju. Serentak bergelora darah mudaku. Kamu adalah perempuan paling cantik. Di negeriku Indonesia kamulah yang nomor satu. Aku tak akan bisa sukai lagi perempuan yang lainnya.” Begitulah petikan lirik lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia itu.

Lagipula, sepanjang sepengetahuan saya, Dhani tak pernah terlibat dalam gerakan pemberontakan terhadap Republik ini. Ia hanyalah seorang musikus namun jenius yang seolah tangannya selalu gatal jika tak berkarya. Selain itu, ia juga seorang pengagum Proklamator yang juga salah satu pendiri Republik ini, Soekarno. Kalau tidak salah, dahulu, Dhani selalu mencantumkan ucapan terima kasih pada Bung Karno dalam beberapa sampul albumnya.

Tak hanya itu. Ia juga pernah menciptakan beberapa lagu bernada kritik terhadap kebobrokan perilaku para penyelenggara negara, terutama dalam album Ideologi Sikap Otak pada Ahmad Band—grup musik yang didirikannya beberapa saat setelah Dewa 19 mengalami masalah internal. Setidaknya, ada dua lagu dalam album itu yang bisa disebut ekspresi kekecewaan Dhani atas sejumlah permasalahan di negeri ini: Distorsi dan Interupsi.

Dhani sendiri tegas mengatakan bahwa dirinya tak bermaksud menghina Merah Putih. "Saya tegaskan, saya tidak pernah berniat menghina Merah Putih. Justru dalam lagu itu, Dewa 19 ingin menunjukkan rasa nasionalisme," ungkapnya usai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta.

Meski demikian, tak cukup mengukur laku Dhani yang dituduhkan Roy itu hanya dari segi maksud dan rekam jejaknya dalam dunia musik. Ia juga harus ditinjau dari sisi hukum: apakah menurut hukum, perbuatannya itu bisa dikategorikan sebuah pelanggaran. Namun, sayangnya, produk hukum yang mengatur tentang Merah Putih itu tak ada penjelasannya jika dikaitkan pada masalah Dhani. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia mengatur tentang ukuran dan penggunaan Merah Putih. Tapi, “merah putih” yang dipakai Dhani yang berukuran panjang 6,80 meter dan lebar 4,73 meter itu, tampaknya tak dapat disebut sebagai bendera Merah Putih.

Disebutkan beberapa pada PP itu dalam Bab I Pasal 2: “Bendera Kebangsaan yang dikibarkan: a) pada rumah-rumah jabatan atau di halaman rumah-rumah jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur Kepala Daerah dan Kepala Daerah yang setingkat dengan ini dan b) pada gedung-gedung atau di halaman gedung-gedung Kabinet Presiden, Kabinet Perdana Menteri, Kementerian, Dewan Perwakilan Rakyat, Konstituante dan Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, Dewan Pengawas Keuangan; dibuat daripada kain yang kuat dan tidak luntur dan berukuran dua meter lebar dan tiga meter panjang.”

Bab III Pasal 2 Ayat (3) dijelaskan: “Bendera Kebangsaan…, misalnya, tidak boleh: a) dipakai sebagai langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, reklame perdagangan dengan cara apa pun juga; b) digambar, dicetak atau disulam pada barang-barang yang pemakaiannya mengandung kurang penghormatan terhadap Bendera Kebangsaan. (4) Pada Bendera Kebangsaan tidak boleh ditaruh lencana, huruf, kalimat, angka, gambar atau tanda-tanda lain.”

Dhani bisa saja dijerat sesuai pasal 2 Ayat (3) dan (4) itu. Namun, harus dilihat pula ukuran “merah putih” yang dapat disebut sebagai Bendera Kebangsaan. Selain itu, Polisi juga harus benar-benar memastikan bahwa yang dilakukan Dhani pada “Merah Putih” tersebut bermaksud melecehkan atau tidak. Sebab, tentang hal itu diatur pula dalam PP Nomor 40 Tahun 1958.

Hingga kini, Polisi pun tampaknya belum menemukan celah untuk menjerat Dhani. Namun, pemeriksaan memanglah harus dilakukan karena begitulah tugas aparat penegak hukum jika mendapat laporan dari warga masyarakat. Jika pun Polisi berhasil menjerat Dhani, maka akibatnya tak sedikit. Setidaknya, rakyat di negeri ini akan lebih berhati-hati menggunakan Merah Putih. Bahkan, bisa saja malah takut karena tak mau berurusan dengan hukum. Atau, yang berani menggunakannya hanyalah kantor-kantor lembaga pemerintah karena bentuk, ukuran dan penggunaannya yang paling jelas diatur dalam PP adalah hal itu.

Nah, bagaimana dengan Roy? Pria yang juga dikenal sebagai “saksi ahli” dalam urusan teknologi informasi itu tampaknya harus berpikir lebih keras daripada polisi agar tuntutannya terkabulkan dan berhasil menjebloskan Dhani ke penjara. Sebab, sepertinya tak ada pasal yang dapat disangkakan pada Dhani. Jika ia tak berhasil, maka julukan “saksi ahli” padanya patut diganti menjadi “ahli bersaksi”.

Pilkada Jatim "Putaran Ketiga"

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang, diulang. Di Pamekasan dilakukan penghitungan suara ulang. Dengan demikian, boleh dikata juga, Pikada di provinsi dengan 37 juta penduduk itu, digelar untuk ketiga kalinya. Biaya yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jatim untuk menggelar dua kali hajatan pesta demokrasi lokal itu sebesar Rp 770 miliar. (angka itu beneran lho, enggak pake boong).

Entah berapa duit lagi yang harus dikeluarkan untuk Pilkada Jatim "putaran ketiga" nanti. Pastinya memang tak akan sebesar penyelenggaraan sebelumnya. Tapi, angka yang mendekati Rp 1 triliun itu tidak sedikit, bahkan sangat tidak sedikit. Sementara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jatim pada 2008 sebesar Rp 7,3 triliun. Dengan demikian, kira-kira, hampir 12 persen uang rakyat dipakai hanya untuk pilkada.


Oh ya, duit yang mendekati Rp 1 triliun itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan masing-masing cagub dan cawagub pada Pilkada putaran pertama atau putaran kedua untuk kepentingan seluruh urusan kampanye atau pemenangan. Gosip yang beredar (memang tidak valid, boleh saja disebut kabar burung), untuk Pilkada putaran pertama dan kedua, pasangan Sukarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) anggaran biaya kampanyenya justru melebihi biaya yang dikeluarkan KPUD Jatim. Konon, Karsa menganggarkan sekira Rp 1 triliun dan Kaji sebesar Rp 800-an miliar. Itu baru anggaran dari dua pasangan cagub dan cawagub, belum tiga pasangan lainnya gagal memasuki putaran kedua.

Tak ada kemampuan untuk menelisik berapa biaya sesungguhnya yang dikeluarkan masing-masing pasangan cagub dan cawagub. Namun, dalam penghitungan "gampang-gampangan", seluruh ongkos proses "audisi" pemimpin Jatim itu memanglah tidak sedikit. Hitung saja mulai dari "mahar" bagi partai politik pengusung atau pendukung, iklan di media massa (cetak atau elektronik dan media berbasis internet), biaya cetak sekaligus pemasangan atribut, honor tim sukses, honor saksi, politik uang, hingga menyewa pengacara saat terjadi sengketa. Semua urusan itu tak ada yang gratis. Kisarannya ratusan hingga miliaran rupiah.

Fenomena hajatan berbiaya tinggi itu sesuai dengan semboyan masing-masing cagub dan cawagub. Karsa punya semboyan: "APBD untuk Rakyat". Itu artinya, APBD boleh saja dipakai membiayai dirinya (yang juga rakyat), tim suksesnya (rakyat pula) dan pendukungnya (pastinya juga rakyat). Semboyan Kaji pun tak kalah menarik. Pasangan yang diusung Partai Persatuan Pembangunan beserta 12 parpol non-parlemen plus Partai Demokrasi Indonesia itu bertekad tak akan mengandalkan APBD untuk membangun Jatim. "APBD Saja Tak Cukup untuk Bangun Jatim". Semboyan itu sepertinya boleh juga dimaknai bahwa Rp 7,3 triliun APBD masih terlalu sedikit untuk membangun Jatim, apalagi jika hanya Rp 770 miliar, tentu sangat sedikit. Artinya pula, jika Rp 7,3 triliun itu semuanya dipakai untuk Pilkada, masih wajar kok. He..he..he.. .

Tapi, semoga saja pemimpin Jatim masa depan bisa melipatgandakan APBD itu. Amin.

Silaturrahim di Ujung Jempol

Setidaknya, sejak pagi hingga pagi lagi, pada 1-2 Oktober lalu, telepon selular (ponsel) penulis mengalami peningkatan aktivitas. Nada tanda ada pesan singkat (SMS) masuk dengan lagu “Given Up” karya Linkin Park itu seperti tak mau berhenti berbunyi. Isinya serupa tapi tak sama, yakni, SMS tentang ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah.

Saat itu, kotak pesan masuk pada ponsel terdapat sekira 350 SMS. Sedikitnya, 140-an SMS di antaranya berisi ucapan selamat Lebaran. Angka tersebut sudah termasuk SMS dengan kalimat sama yang dikirim/terkirim lebih sekali.

Si pengirimnya beragam, mulai dari anggota keluarga, saudara, kerabat, teman, sahabat, mantan dosen, rekan kerja/seprofesi, kawan saat masih menjadi ‘aktivis’, pacar, mantan pacar, pengusaha, hingga pejabat penyelenggara negara, dan lain-lain.

Isi SMS-nya pun beragam, bahkan sangat beragam (sekali). Mulai dari yang bernada puitis, diawali sebait pantun, hingga yang seadanya saja. Misal, sebuah SMS yang dikirim berisi, “Tangan bertangkup menghaturkan maaf, hati berbenah menabur ikhlas. Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf.”

“Satu senyum bisa membuat sesuatu jadi indah. Satu tawa bisa membuat sesuatu jadi bahagia. Satu maaf bisa membuat kita kembali fitrah. Met Idul Fitri. Maapin nyak kalah ada salah,” ucap pengirim di seberang sana diakhiri kalimat bernada Betawi-an.

Ada pula, “Malam ini terasa sangat memikat kalbu karena hari tadi kita telah saling memaafkan antarsesama. Hidup kita saat ini bak selembar kertas putih. Semoga saja kita mampu mengisinya dengan coretan hidup yang penuh harmoni. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin.”

SMS serupa berbahasa daerah pun tak ketinggalan. “Bilih kantos aya carios nu nyungkelit dini ati, teu geunah dina manah, kasiku catur katajong omong ka pribados, mugi rido ngahapunten tina samudaya kalepatan. Minal aidzin wal faizin,” tulis pengirim berbahasa Sunda yang si penerima tak memahami maknanya.

Pengirim dengan kalimat berbahasa Jawa, “Dhawah sami-sami, kawula sakbrayat samanten ugi ngaturaken sadaya kalepatan bilih wonten sisip sembiring ukara lan kaladuking tumindak. Ing pamuji Allah ta’ala tansah paring karaharjan tumraping kita sesami. Amin.”

“Ngaturaken sugeng Riyadin 1429 H. Menawi wonten seliping pangandikan, kaladuking lampah kaliyan sisiping mana, kawulo sekeluwargo nyuwun gunging pangapunten.” Begitu ditulis pengirim yang memang orang Jawa.

“Rumah gadang maimbau pulang. Tanah rantau manahan kaki. Jikok ado kato yang talampau, mohon setulus hati. Met Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin.” Ujar seseorang dalam bahasa Minang.

Bahasa Madura pun ikut ambil bagian. “Kecepot guleh mera, sala lopot mentak seporah,” ucap seorang teman dengan singkat.

SMS berbahasa asing? Jangan ditanya. Ambil saja contoh, “Aidil Fitri is a moment. To be holy, to be a new soul, to forgive each other. So…please forgive al of my mistakes. Happy Aidil Fitri 1429 H.” Cukup konsisten berbahasa Inggris meski si penerima SMS tahu bahwa pengirimnya bukan bule.

“Assalam… Dear Friends…tomorrow is the day when every Moslem celebrating Idul Fitri. And, I wanna apologize for everymistakes that i’ve made… for everyword that i’ve said. For everything that i’ve done. That may hurted you. And, hope Allah will always loves us…Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H.” Itu pesan berbahasa Inggris dicampur Indonesia? Tidak terlalu sedikit jumlahnya. Mungkin si pengirim sadar bahwa ia orang Indonesia asli.

Masih dalam ponsel penulis. Ucapan selamat Lebaran dalam bahasa Arab, cukup bersaing jumlahnya dengan bahasa Inggris, meski beberapa di antaranya juga tak konsisten. Ada kalimat yang menggunakan bahasa para habaib itu campur Inggris, juga beberapa disisipi bahasa Indonesia.

Beberapa ucapan selamat merayakan Idul Fitri itu mengingatkan penulis pada sebait SMS yang dikirim seorang kawan di awal Ramadhan. “Pesan dikirim sebagai pengganti diri,” demikian ditulisnya.

Disadari atau tidak, SMS telah sebegitu rupa menggantikan kedirian. Fasilitas yang dapat ditemui pada seluruh jenis dan merek ponsel itu telah sukses memosisikan dirinya sebagai model atau cara baru bagi manusia untuk bersilaturrahim. Ia diyakini dapat mewakili kedirian seseorang. Saat pesan dikirim, lalu diterima, maka saat itulah terjadi komunikasi (baca juga: silaturrahim).

Ya. Kata-kata dalam SMS (pesan singkat dalam pengertian sesungguhnya karena memang penulisannya biasa disingkat, bahkan sesingkat-singkatnya) dianggap telah dapat mewakili keseluruhan diri. Padahal, bahasa atau kata-kata tak pernah mampu mewakili seluruh kenyataan. Silaturrahim dalam pengertian konvensional (komunikasi bertatap muka) dianggap telah usang, tak efektif, buang-buang waktu dan tenaga, dan sebagainya.

Prestasi SMS juga patut “diacungi jempol” saat ia telah dianggap pula dapat mewakili tindakan, perbuatan, kejujuran, kebohongan, kesalahan, kebenaran, ketulusan atau keikhlasan, dan sebagainya.

Maaf-memaafkan, terutama saat Lebaran, cukup dilakukan dengan mengirim SMS. Karena memang pesan singkat, maka permohonan maaf melalui SMS haruslah diketik sesingkat-singkatnya, (biasanya) tanpa menyebut kesalahan seperti apa yang diperbuat si pengirim. “Uniknya” lagi, saat permohonan maaf itu dibalas oleh si penerima SMS, maka dianggap tuntaslah kewajiban memohon maaf dan memberi maaf itu. Impas, katanya.

Sepanjang pengetahuan penulis, tradisi silaturrahim model baru itu berkembang sejak sekira lima tahun terakhir, terutama saat penetrasi penggunaan ponsel mulai marak di Tanah Air. Beberapa hari menjelang Lebaran, biasanya orang sudah mempersiapkan kalimat khusus dalam bentuk SMS yang berisi permohonan maaf sekaligus ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri. Pada saatnya nanti, SMS itu cukup dibubuhi nomor penerimanya, lalu dikirim. Selesai. Belakangan, ponsel keluaran terbaru memiliki fasilitas pengiriman SMS ke banyak nomor dalam waktu bersamaan. Luar biasa.

Tidak hanya SMS permohonan maaf yang disiapkan. Belakangan berkembang ‘modus’ baru, yaitu mempersiapkan pula SMS balasan untuk menjawab SMS sebelumnya yang berisi permintaan maaf. Seperti yang dialami penulis. Empat di antara 140-an SMS ucapan selamat Idul Fitri dan pemohonan maaf itu berisi, “Sama-sama… Saya (dan sekeluarga) juga minta maaf atas segala…” Padahal, penulis merasa (bahkan sangat yakin) tak pernah mengirimkan SMS pada keempat orang tersebut.

Fenomena demikian cukup untuk menunjukkan bahwa mahluk bernama SMS itu telah benar-benar menggeser model silaturrahim konvensional. Tradisi bermaaf-maafan saat Lebaran yang dahulu biasanya dilakukan dengan saling bertemu, bertatap muka, berjabat tangan, berpelukan (tanda benar-benar telah saling memaafkan), bahkan ditemani secangkir kopi atau teh dan makanan ringan, kini telah (mulai) hilang.

Sekarang, semua itu dapat dilakukan hanya dengan jempol tangan, yakni mengetik kalimat SMS sesingkat-singkatnya. Rangkaian kata-kata singkatan yang biasanya tak lebih dari 160 karakter itu sudah cukup mewakili seluruh ritual dalam silaturrahim model konvensional. Sungguh sangat singkat.

Namun, di luar itu semua, penulis sepakat dengan kalimat SMS yang dikirim seorang kawan lama. “Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1429 Hijriyah: ‘Barang siapa dengan sengaja tidak memberi maaf, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuannya dia wajib memberi maaf, diancam pidana masuk neraka dan tidak dapat diganti denda. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin’.”